Hari Raya Galungan adalah salah satu hari raya besar agama Hindu yang dirayakan oleh hampir seluruh umat Hindu di Bali. Namun demikian mungkin tidak semua yang mengetahui akan latar belakang atau sejarah Hari Raya Galungan tersebut.
Karena memang hakekatnya perayaan tersebut diketahui dan diyakini sebagai hari menangnya Dharma (kebajikan) melawan Adharma (kebatilan), untuk itulah diharapkan seluruh umat selalu menjaga kebaikan atau kebajikan di kehidupan ini agar bisa mendapatkan tempat yang baik disisi-Nya atau lebih baik lagi di kehidupan mendatang yang dipercayai sebagai reinkarnasi.
baca juga: Hari Raya Galungan >>>>
Hari Raya Galungan ini, datangnya setiap 6 bulan sekali kalender Bali, seperti diketahui penanggalan atau kalender Bali setiap bulannya berjumlah 35 hari, sehingga Galungan datangnya setiap 210 hari sekali tepatnya pada hari Rabu (Budha) Kliwon Wuku Dungulan.
Pada saat perayaan terbesar terkesan cukup meriah, karena ciri khasnya setiap warga yang merayakan akan memasang penjor di sebelah kanan pintu masuk masing-masing pekarangan rumah, kantor ataupun perusahaan.
Sejarah Hari Raya Galungan tersebut menjadi hal menarik untuk diketahui oleh umat, karena berhubungan juga dengan penamaan beberapa tempat di Bali termasuk sejarah dan latar belakang Pura Tirta Empul di Tampaksiring.
Kata Galungan sendiri berasal dari bahasa Jawa Kuno yang berarti bertarung atau menang, Galungan juga berasal dari Dungulan yang berarti menang.
Di kalender Bali wuku kesebelas bernama Dungulan sedangkan di Jawa bernama wuku Galungan, namanya memang berbeda, tetapi memiliki arti sama yaitu kemenangan.
Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Hari Raya Galungan tersebut pertama kali dirayakan di Bali pada hari purnama Kapat tepat Budha Kliwon Dungulan, tanggal 15, tahun saka 804 atau 882 Masehi.
Latar Belakang atau Sejarah Hari Raya Galungan
Latar belakang sejarah Hari Raya Galungan berawal dari kisah seorang raja pada jaman dahulu, seorang raja yang sakti mandraguna keturunan raksasa yang memerintah jagat Bali, raja tersebut bernama Raja Mayadenawa.
Mayadenawa seorang raja lalim dan kejam, karena kesaktiannya yang tidak terkalahkan menganggap dirinya adalah Dewa yang patut disembah oleh rakyatnya. Kesaktiannya tersebut diperoleh karena keteguhan dan ketekunan imannya memohon kepada Dewa Siwa, agar diberikan kesaktianya dan agar bisa merubah wujud.
Hasil dari ketekunan menyembah dan memohon kepada Dewa Siwa, maka dikabulkanlah keinginannya, sehingga Mayadenawa menjadi raksasa sakti yang mampu melakukan perubahan wujud.
baca juga: sejarah tentang Bali >>>>
Kesaktian, kesombongan dan keangkuhannya ini, membuat Mayadenawa bisa menguasai seluruh Bali bahkan meluas sampai ke wilayah Lombok, Sumbawa, Bugis dan Blambangan dengan mudah. Raja kejam ini tidak memperbolehkan rakyatnya menyembah Dewa dan menghancurkan pura yang ada.
Rakyat tidak berani menentang karena kesaktian dan kekejaman raja, semua rakyat akhirnya patuh. Rakyat dihantui rasa ketakutan yang mendalam. Karena sifat raja yang lalim, maka rakyat juga menjadi sengsara.
Tersebutlah seorang pendeta bernama Sangkul Putih atau Mpu Sangkul putih yang juga merupakan Pemangku Agung di Pura Besakih, melihat situasi seperti ini beliau menjadi sedih, pura yang dihancurkan dan kondisi rakyat yang serba ketakutan.
Akhirnya sang pendeta melakukan meditasi atau tapa yoga di Pura Besakih, untuk memohon petunjuk dari para Dewa. Dalam tapa yoganya beliau mendapat petunjuk dari Dewa Mahadewa agar beliau pergi ke Jambu Dwipa (India) untuk meminta bantuan.
baca di sini: Pura tempat memohon keturunan di Bali >>>>
Akhirnya bantuan datang dari India dan juga Kahyangan yang dipimpin oleh Dewa Indra untuk memerangi Maya Denawa dan pasukannya, Maya Denawa sudah mengetahui kedatangan tersebut karena memiliki banyak mata-mata, mempersiapkan pasukannya dengan baik, sehingga terjadi perang dahsyat dan banyak yang tewas di kedua belah pihak,.
Tapi akhirnya pasukan Mayadenawa berlari kocar-kacir meninggalkan medan peperangan. Mengetahui hal ini Mayadenawa merencanakan daya upaya licik untuk menghancurkan pasukan kahyangan.
Pada saat jeda perang di malam harinya, karena kesaktiannya bisa merubah wujud, bisa menyusup pasukan dewa Indra dan memberi racun pada sumber air.
Agar tidak ketahuan, maka Mayadenawa mengendap-endap berjalan memiringkan kakinya dengan hanya menggunakan sisi kakinya saja, sehingga tempat tersebut dikenal dengan nama Tampak Siring.
Pada pagi harinya pasukan kahyangan yang meminum sumber air tersebut keracunan, mengetahui hal ini Dewa Indra dengan kesaktiannya menciptakan sumber air baru yang mampu mengobati dan menyembuhkan pasukan yang keracunan, sehingga mereka semua sembuh sedia kala.
Sumber air tersebut sekarang dikenal dengan nama Tirta Empul, sedangkan tempat mengalirnya sungai tersebut dinamakan sungai Pakerisan.
baca juga: pura tempat melukat di Bali >>>>
Setelah mereka pulih semua, kembali melakukan pengejaran, dalam pelariannya Mayadenawa juga sempat bersembunyi di sebuah gua, sehingga tempat tersebut dinamakan Goa Mayadenawa. Dalam pelariannya Mayadenawa beberapa kali merubah wujudnya agar tidak dikenali oleh musuh.
Mayadenawa sempat mengubah wujud menjadi seekor burung besar (Manuk Raya), sehingga tempat tersebut menjadi desa Manukaya, namun dengan kesaktian Dewa Indra semua usaha dari Mayadenawa dengan berubah wujud berkali-kali hanya usaha sia-sia dan akhirnya Mayadenawa, dan akhirnya Dewa Indra mampu membunuh Mayadenawa.
Darah yang mengalir dari raja lalim ini menjadi sungai bernama Sungai Petanu, sungai tersebut konon juga dikutuk, jika air sungai tersebut digunakan mengairi sawah, maka padi akan tumbuh dengan cepat, namun akan keluar darah saat panen dan akan mengeluarkan bau. Mungkin kutukan tersebut sekarang sudah berakhir karena berlaku hanya dalam 1000 tahun.
baca juga: budaya dan tradisi unik di Bali >>>>
Dan kemenangan Dewa Indra melawan Mayadenawa inilah disimbolkan sebagai kemenangan kebaikan melawan kejahatan yang diperingati sebagai Hari Raya Galungan. Dari sinilah sejarah hari raya Gulungan tersebut yang diturunkan dari generasi ke generasi sampai sekarang ini.
Saat perayaan ini juga ada tradisi memenjor atau membuat penjor. Penjor menggunakan bambu melengkung yang melambangkan gunung tertinggi tempat stana Dewa, dihiasi oleh hasil bumi atau pertanian untuk mengingatkan kita bahwa hasil bumi tersebut berasal dari Tuhan, dan secara utuh berarti ucapan terima kasih kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa atas segala kemakmuran yang telah dilimpahkan.
Demikian sekilas dari latar belakang ataupun sejarah dari Hara Raya Galungan tersebut dirayakan, masukan, saran dan kritik sangat kami harapkan dari anda untuk melengkapi artikel ini agar menjadi lebih baik dan kalau bisa lebih sempurna dengan mengisi kolom komentar di bawah.
*dikutip dari berbagai sumber.
Informasi tentang Bali seperti budaya dan tradisi, objek wisata lengkap, tour di Bali, juga sewa mobil dan bus pariwisata kami sediakan, termasuk tiket kapal cepat atau fast boat dari Bali ke Gili Trawangan dan Nusa Lembongan. Tiket rekreasi baik untuk anak dan dewasa seperti Odyssey Submarine, kapal pesiar lokal atau cruise, rafting sampai mendaki ke Gunung Agung dan Batur.
Leave a Reply