Perang api atau Terteran adalah tradisi unik di wilayah Jasri, Kabupaten Karangasem. Memang kabupaten yang terletak di ujung Timur pulau Bali, memiliki sejumlah budaya dan tradisi unik yang masih terjaga baik sampai saat ini. Kawasan Bali Timur ini juga memiliki sejumlah pusat-pusat pariwisata, sehingga mereka yang liburan tidak hanya menyaksikan alam indah, tetapi juga budaya lokal yang menarik perhatian para pelancong.
lanjut baca; budaya dan tradisi unik di pulau Bali >>>>
Kabupaten Karangasem sendiri memiliki sebuah budaya dan tradisi yang berkaitan dengan perang, beberapa diantaranya yang cukup populer adalah tradisi perang pandan (mekare-kare) di Tenganan, perang pisang (mesabatan biu), di dauh tukad Tenganan, perang rotan (gebug ende) di Seraya, perang pelepah pisang (tetabahan) di Bugbug, perang jempana (mabiasa) Bukit Gumang dan perang api (Terteran) di desa Jasri.
Banyak tradisi yang berhubungan dengan perang di kabupaten ini, tentu ada beberapa hal yang melatar belakangi bagaimana tradisi tersebut muncul dan bisa bertahan sampai sekarang, seperti juga tradisi Terteran (ter-teran) di Jasri, dilakukan begitu antusias oleh warga dan menjadi atraksi wisata menarik bagi wisatawan.
foto: via fb Pande Kade Pariyata
Pada halaman ini admin akan mengulas sedikit tentang tradisi Terteran atau perang api di desa Jasri, kecamatan Karangasem, Kab. Karangasem – Bali. Seperti tradisi perang lainnya, Terteran (Ter-teran) ini digelar berkaitan dengan upacara ritual yang berhubungan dengan kegiatan keagamaan, tentu sebuah tradisi atau ritual wajib dilakukan dan berakibat tidak baik seandainya sebuah tradisi itu tidak dilaksanakan, itulah sebabnya budaya dan tradisi yang terlihat unik tersebut bisa kita temukan dan saksikan sampai sekarang ini.
Tentang Tradisi Terteran (Perang Api) di Jasri Karangasem
Seperti namanya perang api, tentu media yang digunakan adalah api, kata terteran sendiri berarti melemparkan dengan kekuatan, dalam kaitan dengan upacara yadnya yang digelar di desa Jasri ini berarti menembak dengan kekuatan api untuk melebur segala kejahatan dan malapetaka. Dalam perang api ini menggunakan prakpak (bobok), sebatang obor yang berasal dari daun kelapa kering (danyuh), diikat kemudian dibakar di tengah obor diisi dengan sebatang tongkat kecil sekitar seperempat panjang obor, agar jangkauan lemparan lebih kuat dan akurat.
Perang inipun melibatkan banyak orang secara bersamaan, warga dibagi dua kelompok dan saling serang menggunakan bobok (obor), tidak seperti dalam perang rotan ataupun perang pandan (Mekare-kare) di desa Tenganan yang bertanding satu lawan satu.
lanjut baca; perang pandan (Mekare-kare) di Tenganan >>>>
Perang api atau Terteran ini berkaitan dengan upacara Ngusaba Dalem atau Aci Muu-muu, Terteran digelar setiap 2 tahun sekali bertepatan saat Hari Pengrupukan dalam rentetan upacara Tawur Kesanga (sehari sebelum hari raya Nyepi), tujuan dari perang api ini adalah untuk mengusir sifat-sifat jahat yang disebabkan oleh sang Bhuta Kala.
Lokasi atau tempat digelar tradisi Terteran ini adalah di jalan raya utama Jasri atau jalan lintas kabupaten Karangasem – Klungkung, sehingga akses jalan tersebut ditutup sementara selama 3 jam, sedangkan ritual Terteran dimulai jam 6 sore. Lampu peneranganpun sengaja dimatikan, sehingga saat mereka saling lempar terlihat api berseliweran dengan cukup jelas.
Dalam tradisi Terteran warga desa Jasri dibagi menjadi 2 kelompok dengan patokan warga sebelah Utara dan Selatan Bale Banjar (balai desa) dipisah menjadi dua kelompok dan dibatasi oleh batang bambu sebagai pemisah agar salah satu kelompok tidak masuk ke kubu lawan. Warga yang ikut adalah kaum laki-laki saja baik tua maupun muda, mereka mengenakan kamben (kain) yang merupakan pakaian tradisional adat Bali tapi tanpa mengenakan baju.
baca juga; pakaian tradisional adat Bali >>>>
Mereka berkumpul dan menyalakan bobok (obor) siap saling serang. Setelah peluit atau aba-aba dibunyikan mereka mulai saling serang, saling melempar obor ke pihak lawan, obor terlihat berseliweran di udara, terkadang obor malah salah sasaran bisa mengenai penonton bahkan teman sendiri. Tembakan atau serangan obor-obor tersebut mengeluarkan bunyi ter-ter dari sini muncul istilah Ter-teran.
Terteran atau perang api ini berlangsung sekitar 1 jam dan dibagi dalam 3 sesi. Keseruan dalam tradisi Terteran ini sangat terasa sekali, warga dengan semangat tinggi saling menyerang, suara riuh gelak tawa terdengar, ketika obor salah sasaran apalagi saat mengenai penonton. Dalam perang api tentu tidak jarang peserta mengalami luka bakar namun luka tidak begitu serius, karena api sendiri berasal dari daun kelapa kering, tidak sampai perlu perawatan medis, cukup diperciki tirta (air suci) dan dimohonkan kepada Ida Sang Hyang Widi, sehingga berangsur-angsur cepat sembuh.
baca juga; sejarah hari Raya Nyepi >>>>
Selesai ritual perang api, semuanya akan kembali normal, tidak ada warga yang dendam atau permusuhan. Terteran sendiri dilakukan 2 kali, yaitu sehari menjelang hari Raya Nyepi ataui dikenal dengan hari Pengrupukan dan sehari setelah hari raya Nyepi atau pada hari Ngembak Geni, bagi mereka yang tidak sempat ikut pada hari pertama, bisa melakukannya saat ini.
Jalannya Prosesi perang api atau tradisi Terteran
Setelah melakukan pecaruan dalam rangkaian upacara Tawur Kesanga di persimpangan tugu patung salak desa Jasri, tepat saat sandikala, para pelaku upacara seperti prajuru, jro mangku dan sejumlah pengikut laki-laki baik itu muda dan tua berangkat ke pantai Jasri yang letaknya sekitar 500 meter, untuk melarung caru ke laut. Sekembalinya rombongan tersebut dari melarung caru dan alampun mulai gelap, lampu penerangan semuanya dimatikan, rombongan ini akan dihadang dan dilempari bobok (obor) oleh puluhan warga desa.
baca di sini; objek wisata pantai Jasri Karangasem >>>>
Lemparan tersebut dilakukan di 3 titik lokasi, sepanjang perjalanan rombongan dari pantai ke Pura Bale Agung. Pembawa caru disebut dengan Wong Bedolot, saat di ter atau dilempari dengan obor, tidak boleh melawan, Wong Bedolot hanya boleh menghindar atau menangkis dengan obor yang dibawanya, walaupun sampai terkena tidak akan kepanasan apalagi terbakar tentu ini menjadi hal unik dan menarik, yang mencirikan ada kekuatan lain yang menyertai rombongan tersebut.
Tujuan ngeter atau melempari Wong Bedolot ini untuk mengusir Bhuta Kala atau roh jahat yang mungkin masih ikut saat sekembalinya dari melarung caru, jika obor yang dipakai ngeter Wong Bedolot tersebut habis, itu artinya sudah lepas dari lemparan dan bisa bergegas kembali menuju Pura Bale Agung yang merupakan salah satu pura Kahyangan Tiga di desa jasri.
lanjut baca; sejarah pura Kahyangan Tiga di Bali >>>>
Sekitar pukul 19.00, pada saat Wong Bedolot dan juga Ida Bhatara rauh (kembali) menuju Pura Puseh (Bale Agung), kentongan dipukul bertalu-talu, sebagai ciri khas Ida Bhatara sudah kembali dan acara puncak Terteran atau perang api siap untuk digelar.
Perang api di Karangasem ternyata tidak hanya ada di desa Jasri saja, tetapi digelar juga oleh warga Banjar Saren Kauh, desa Saren, Kecamatan Bebandem, Karangasem. Perbedaannya kalau di desa Saren menggunakan sambuk (serabut kelapa). Keberadaan tradisi-tradisi unik dan menarik di wilayah Karangasem tersebut, melengkapi atraksi wisata di wilayah pariwisata Bali Timur.
Leave a Reply