Hari raya penyepian adalah salah satu hari raya besar yang selalu jatuh pada pengujung sasih Kesanga (bulan ke-9 kalender Icaka). Di dalam hari raya penyepian wajib hukumnya bagi umat hindu melakukan catur bratha penyepian yang terdiri dari amati karya, amati geni, amati lelanguan dan amati lelungan. Namun sebelum melaksanakan catur brata penyepian, sehari sebelumnya biasanya masyarakat hindu Bali akan menggelar Hari Raya Pengrupukan, dan salah satu ritualnya adalah pecaruan atau Tawur Agung, bertepatan dengan hari raya Pengrupukan, di sejumlah tempat digelar berbagai tradisi, salah satunya adalah di Desa Nagi, Gianyar yang menggelar tradisi Mesabatan Api atau melempar api.
Pada umumnya pada saat Hari Pengrupukan warga Hindu Bali akan turun ke jalan dengan menggelar pawai ogoh-ogoh, namun pada sejumlah tempat lainnya juga digelar tradisi unik pada hari dan waktu yang sama, namun dalam bentuk tradisi yang berbeda-beda. Seperti Tradisi Mesabatan Api di Desa adat pekraman Nagi, Ubud, Kabupaten Gianyar, tujuan digelarnya ritual atau tradisi ini adalah untuk mengusir roh jahat atau energi negatif yang hendak menguasai daerah mereka. Ubud yang menjadi tujuan wisata karena keindahan, alam, budaya dan seni, semakin manambah daya tariknya karena tradisi unik yang dimilikinya, seperti apa anda saksikan di desa Nagi.
Mesabatan Api atau Perang api adalah tradisi ekstrem desa Nagi Gianyar yang mana menggunakan batok kelapa berisi bara api yang dibakar hingga merah membara yang nantinya akan dilemparkan ke peserta yang dianggap lawan mereka. Tradisi Peninggalan para nenek moyang ini, diperankan oleh pemuda-pemudi STT mekarjaya, Desa Adat Pekraman Nagi. Walaupun terlihat sangat ekstrem, Tradisi Mesambatan Api ini selalu rutin digelar setiap satu tahun sekali tepat pada hari raya pengerupukan dan walupun berbahaya karena bisa saja terbakar, namun peserta tradisi ini tidak pernah berkurang tiap tahunnya. Tradisi ini diyakini oleh warga desa Nagi sebagi ritual tolak bala.
baca juga: budaya dan tradisi unik di Bali >>>>
Para peserta dalam ritual atau tradisi Mesabatan Api di desa Nagi Gianyar ini disebut sebagai pengayah, tentunya dalam tradisi ekstrem tersebut timbul pertanyaan, apakah pengayah tersebut tidak ada yang terluka (luka bakar) karena terkena bara api dari batok kelapa, sejauh tradisi tersebut berlangsung turun temurun, sama sekali tidak ada korban atau pengayah yang menunjukkan luka bakar karena terkena lemparan api, bahkan pada saat berlangsungnya tradisi ini pun tidak ada para pengayah yang memperlihatkan raut wajah kesakitan malah sebaliknya, mereka sangat antusias dan bersemangat menggelar tradisi tersebut. Seandainyapun ada peserta yang terluka, obat tradisional yang diyakini mujarab juga sudah disediakan.
Dengan waktu yang sudah ditentukan oleh panitia, para pengayah dan Penduduk Desa akan berbondong-bondong menuju bale banjar Pura Doho yang ada di Desa Adat Pekraman Nagi, karena tradisi Mesabatan Api akan digelar disana. Selain penduduk desa yang tidak mau melewatkan tradisi ini, banyak wisatawan asing maupun lokal yang sengaja berkunjung ke desa ini hanya untuk melihat secara langsung bagaimana tradisi ekstrem ini dimainkan dan masih bertahan sampai saat ini. Tradisi di bali yang juga berhubungan dengan api pada saat hari Pengrupukan adalah tradis perang api atau Terteran di Jasri, Karangasem.
lanjut baca: Tradisi Terteran di Jasri Karangasem >>>>
Tradisi Mesabatan Api digelar di Gianyar ini bertepatan saat waktu Sandikala, diambil waktu sandikala (peralihan waktu siang ke malam) yang mana matahari tenggelam, terlihat seperti menyatu dengan bumi, ini memiliki makna yang mendalam yaitu sebagai simbol dari dua elemen yang berbeda lalu akhirnya menjadi dalam satu kesatuan yang nantinya akan saling membutuhkan satu sama lain. Hal ini dikaitkan dengan rwa bhineda (dua perbedaan).
semua foto: via Wayan Margi
Tradisi ekstrem Mesabatan Api ini juga termasuk tradisi yang sangat sederhana, karena untuk para pengayah laki-laki hanya menggunakan udeng atau kain yang dipakai di kepala dan menggunakan kamen atau sarung khas Bali yang bermotif kotak-kotak dengan perpaduan warna hitam putih. Kebanyakan para pengayah enggan menggunakan alas kaki saat Tradisi Mesabatan Api di Gianyar ini digelar, menurut mereka lebih mengasikan tidak menggunakan alas kaki apapun, Tapi untuk para penonton sangat diwajibkan untuk menggunakan alas kaki sepatu ataupun sandal untuk menghindari menginjak batok kelapa yang berisi api.
baca di sini: adat kebiasaan orang Bali >>>>
Tradisi Mesabatan Api di desa Nagi Gianyar ini akan diawali dengan melakukan persembahyangan di pura yang nantinya akan dipimpin oleh Jro mangku adat desa pekraman Nagi, memohon agar diberikan kelancaran dalam menggelar Tradisi Mesabatan Api yang akan segera digelar. Setelah itu pemangku akan memercikan tirta atau air suci, beliau akan memercikan tirta kepada para pengayah ataupun penduduk desa yang hanya ingin menonton saja. Selanjutnya Jro bendesa adat Nagi akan segera membuka tradisi Mesabatan Api tersebut.
Saat ritual atau tradisi tersebut langsung, maka akan dibagi menjadi tiga sesi dan setiap sesi dibagi menjadi 2 kelompok, membuat permainan terlihat teratur, walaupun nantinya setelah permainan tidak ada kelompok yang menang ataupun kalah. Dimulainya Tradisi Mesambatan Api seorang pemuda akan berlari melintasi tumpukan batok kelapa yang sebelumnya sudah terbakar dan yang mana terlihat bara api berwarna merah membara yang akan menjilati batok kelapa itu. Dengan sangat bersemangat dan percaya diri seorang pemuda tersebut akan menendang tumpukan batok kelapa tersebut yang menandakan perang api sudah dimulai.
baca juga: fakta tentang Bali yang jarang diketahui orang >>>>
Pemuda desa yang lain pun segera mengambil batok kelapa yang berisi api dan lalu dilemparnya batok kelapa itu kepada lawan mereka. Walaupun saat permainan terlihat tanpa kendali dan beringas namun pada saat berakhirnya permainan para pengayah bersalam-salaman menandakan tidak ada dendam diantara mereka. Permainan akan selesai sekitar pukul 21.00 dan selama Tradisi Mesabatan Api ini digelar tidak ada cahaya lampu yang menerangi, hanya cahaya api yang keluar dari batok kelapa yang terbakar. Selain itu, dengan tembang gegenjekan membuat suasana dalam tradisi ini lebih hidup dan peserta lebih bersemangat.
Menurut penduduk Desa Nagi Gianyar, tradisi Mesabatan Api ini memiliki sejarahnya yang mana dulu desa mereka terkena wabah penyakit yang menyebabkan banyak warga desa yang meninggal. Lalu pemangku yang ada di desa tersebut berinisiatif untuk menyalakan api dari obor dan membakar batok kelapa, Jro mangku pun dengan segera melemparnya ke segala penjuru dengan diiringi sorakan penduduk desa “bakar…!” . Keesokan harinya pun tiba-tiba terjadi keajaiban, wabah penyakit yang ada di desa tersebut lenyap dan mulai dari itu Tradisi Mesabatan Api rutin digelar tiap tahunnya.
Leave a Reply